Tuesday, October 29, 2013

Muasal Kota, Muara Kota

Oleh : Ari Dwi Kasianto


Awalnya tanah ini kosong, hanya ada sumber air, yang memancar tanpa henti. Para saudagar lalu membelokkan jalur dagangnya melewatinya. Berhenti sekedar untuk melepas dahaga. Perlahan menetap tinggal dan menguasai. Di tempat lain, awalnya ini hanyalah delta, dimana sungai mengalir jernih, menyibak lumpur, mengendapkan humus kesuburan. Berbondong-bondong binatang memamah rumput dan menyeruput segarnya air sungai. Kapal-kapal pun bersandar. Berhenti sekedar istirahat. Perlahan menetap tinggal dan menguasai. Di pelosok lainnya, dahulunya adalah belantara gelap tak bertuan. Pemilik abadi dari roh gentanyangan, sang Penjaga Wana. Saat cahaya matahari mampu menembus jiwa terdalam hutan, kala itu pulalah manusia masuk untuk menjamah. Awalnya berhenti untuk sekedar mengasingkan diri. Perlahan mulai menetap tinggal dan menguasainya. Tanah kosong itu awalnya adalah tak bertuan. Manusia mengisi dengan keinginan. Keinginan menguasai dan menguasai keinginan. Mengundang kerumunan untuk berebut, selanjutnya tanah itu menjadi bak Babilonia peradaban manusia dengan segala hasratnya1.

Victor Hugo berseloroh “sebuah kota berakhir menjadi persona”2. Peradaban kota adalah kerumunan dari hilangnya harapan para pengadu nasib. Memanggul untuk memenuhi satu harapan saja dari Yang Mulia. Dahulunya, mereka dari pinggiran, dipaksa meninggalkan tanahnya, lalu digiring berbondong ke pusat. Tentu saja ini bukan inisiatif mereka. Namun, untuk memenuhi keinginan cita-cita Sang Diraja. Sang Tiran mendengar bisikan untuk mendirikan penanda dirinya dalam sebuah masa yang disebut peradaban kota. Sang Penguasa menitahkan namanya dalam sebuah kerja paksa, demi kegemilangan tinta emas perjalanannya. Dan, keajaiban peradaban, yang membangun kota pun  berakhir menjelma jadi seseorang. Hanya sebuah nama.

“Paris tidak dibangun dalam satu malam” pesan leluhur, yang telah merenggang nyawa untuk sebuah nama kota. “Banyak jalan menuju Roma”, mengingatkan kepada generasi mendatang  tentang jejak-jejak pendiri kota, yang datang dari berbagai sudut dunia dalam todongan senjata. Orang-orang yang terikat, tidak bebas, budak-budak yang menyerahkan cita-citanya, dalam kuasa Sang Pemaksa. Tahun demi tahun. Mulai dari pondasi ke bangunan kaki. Abad demi abad. Dari bangunan kaki ke bangunan badan. Lalu mereka pergi. Entah kemana. Terdengar kabar dalam kitab bahwa Sang Mulia dihukum oleh Sang Tunggal. Dan, menyisakan bangunan kepala saja yang tak terselesaikan, untuk masa depan. Namun, mereka tak meninggalkan pesan  tentang bentuk atap impian mereka, yang menjadi akhir dari cita-cita penciptaan. Dari amanah tujuan pendirian sebuah peradaban. Sebuah kota tanpa cakrawala, tak ada pintu gerbang dan asal-muasalnya.3

Rene Decartes menyukai padang pasir. Tapi, Albert Camus meninggalkan padang pasir untuk mengembara ke kota-kota untuk menemukan kesendirian sebagai kekuatan4. Berani menyusun kepingan dirinya sendiri dalam keutuhan kota. Orang yang mendatangi kota adalah orang yang mencari dirinya. Menganggap kesempurnaan dapat terwujud di kota. Seperti para leluhur yang menyisakan atap kota, kesempurnaan tersisa yang kelak akan diburu oleh generasi setelahnya. Menyelesaikan bangunan yang tersisa dari sebuah penggapaian cita-cita para Urban. Bak atap kota nan tinggi, sebuah cita-cita juga berada di ketinggian. Kota meninggikan keinginan dan meluaskan harapan. Selayaknya jiwa-jiwa yang berpencar dari raga yang senantiasa bergerak menjemputnya –yang dipenuhi oleh keinginan. Harapan itu bak magnet yang menarik medan kutub kesendirian. Kesendirian berkat lepasnya jiwa yang tertinggal di tempat asal dan menetap di tempat tujuan.

Kesendirian adalah entitas kejujuran yang sebenarnya. Kota itu sendiri. Ibu itu selalu sendiri. Ditinggal anak dan suami. Ibukota itu wajah kesendirian. Ibukota menjelma dalam identitas dirinya sendiri. Mengajarkan untuk jujur. Sebagaimana orang kota berperilaku tanpa malu –meninggalkan diri dalam kesendirian. Landasan sikapnya adalah terbuka, salah satu komposanpembentuk sifat jujur. Keterbukaan menjadikan citra kejujuran tanpa etik. Kota mengurung penghuninya dalam individu-individu sendiri. Lebih mengeksploitasi keakuan, sebagai simbol pencitraan perhatian diri. Mencoba menjadi pribadi yang berbeda padahal bertetangga dengan pemilik jiwa-jiwa yang sama. Jika pembeda menjadi niat untuk membedakan. Maka, sebenarnya muaranya sama yakni sekumpulan orang-orang yang berbeda, sebagai penarik perhatian. Cermin dari pribadi yang memiliki daya tarik masuk dalam medan perhatian. Siapapun yang mudah tertarik, dialah pribadi yang sendiri.

Kota besar itu meninggalkan seseorang mati dalam kesendirian. Betapa banyak dia berkawan di sana. Betapa riuh dia bersosialasi dalam dua dunia sekaligus. Namun, kota ini tak pernah mengijinkan kawan-kawannya untuk menengok kematiannya. Dia mati sendiri di kota yang tegak berdiri. Dan, dia berakhir ditandu oleh orang-orang yang mungkin tak dikenalnya. Kota ini menghalangi kawan-kawannya untuk melepasnya. Orang yang tak dikenal inilah yang mengantarkan ke liang lahat. Mungkin semasa hidupnya, orang ini lupa bahwa dia memiliki orang-orang dekat. Orang yang mati ini menyukai orang yang jauh, sebagai tanda kesuksesan dalam meruntuhkan mitos bahwa jarak adalah penghalang. Orang yang berakhir sendiri ini, memang menyendiri dengan yang dimilikinya, yang didekatnya. Kota ini menjadi wajahnya, sedangkan jiwanya berpulang ke tanah asalnya5. Kota ini bergemerlap saja, tetapi tak memberi cahaya penuntun kepada orang-orang yang tinggal di dalamnya. Orang yang mati itu pulang dalam keadaan gelap. Kemeriahan hidup yang berakhir dengan kepiluan6.

Kota besar itu menyukai untuk membuat orang menunggu. Menunggu merupakan kunci dalam penggapaian harapan. Berbaris tak teratur untuk berebut masuk dalam lini masa peradaban yang dibangun oleh kota itu sendiri. Kota ini tak dibangun oleh satu nyawa. Jutaan jiwa terbenam di pondasi kota ini yang jauh di dalam sana. Sampai pada suatu hari, kota ini menunggu hari ini, dimana dunia telah mengakuinya. Pengunjung yang datang-pergi hilir-mudik mengabadikan kota dengan kisah yang tertinggal. Mengunggulkan sejarah para pendiri kota dan kepesatan kemajuan nan muktahir. Kota ini entah berlari sendiri, entah penghuninya yang terdiam sepi. Dijadikan cerita dari masa ke masa. Meninggalkan jejak tulisan untuk pengunjung setelahnya. Dan mereka telah membuat untuk menunggunya kembali. Tak ada hidup kesunyian selain di kota7.

Mereka berkerumun dalam kota.
Mereka berpencar di luar kota.
Mereka membentuk pola tak teratur.
Mereka bergerak dalam rencana.
Mereka diam dalam siasat.

Aku memandang kota besar adalah penghancur harapan. Memisahkan seseorang dari tanah lahirnya. Dan, kelak kembali dalam keadaan tak bernyawa untuk dikubur bersama muasalnya. Memisahkan seseorang bapak dari keluarganya. Demi kelangsungan hidup dengan nafkah in absentia. Memisahkan seorang anak dari orangtuannya, yang berjuang untuk meraih cita-cita. Entah cita-cita dirinya atau orangtuanya. Memisahkan seseorang dari dirinya sendiri. Sebelum sempat mengenal dirinya sendiri. Kota yang bersinar dari kejauhan itu, telah memisahkannya. Memisahkan dari semua yang telah dipersatukan. Dan, menyatukan semua dari apa yang telah dipisahkan. Itulah yang disebut harapan. Muasal dan kelak muara seorang manusia.


Catatan kaki:
1.     Extrait “Quitter de Ville”. Meninggalkan Kota. Oleh Christina Angot
2.     Extrait “Moi, L’amour, La Femme”. Aku, Cinta, Wanita. Oleh Victor Hugo
3.     Extrait “Qu’il pleuve”. Hujan. Oleh Francis Dannemark
4.     Kumpulan Essai. Summer. Oleh Albet Camus
5.     Kutipan dari Jacques de La Cretelle
6.     Kutipan dari Chamfort
7.     Kutipan dari Jacques Garneau

Tuesday, June 18, 2013

Etika dan S.O.P (Standard Operating Procedure) Tourist Guide

Oleh Dony Agus Saputra

       Perjalanan wisata saat ini sangat dibutuhkan bagi orang – orang yang sangat sibuk bekerja, memerlukan waktu yang cukup untuk menghilangkan kejenuhan dan penat saat libur bekerja. Untuk mempermudah usaha tersebut, seorang wisatawan seseorang sering membutuhkan usaha jasa perjalanan wisata yang di dalamnya termasuk pemandu wisata (pramuwisata) sebagai pemandu / pembimbing / pemberi informasi agar liburan-liburan mereka berkesan dan mempunyai nilai lebih dari sekedar mengunjungi suatu tempat tujuan wisata.

       Pramuwisata memerlukan kemampuan olah pikir, pengetahuan, menejemen waktu guna mencapai tujuan sebagai seorang pemandu yang akan memberikan pemanduan, bimbingan dan memberikan informasi wisata kepada para wisatawan. Dalam melaksanakan hal tersebut pramuwisata tidak boleh terlepas dari segala bentuk norma-norma yang telah disepakati, bahkan yang telah diperundangkan oleh pemerintah.

       Pramuwisata harus dapat memahami dan mengpresiasikan diri sebagai: teman, tuan rumah, sumber informasi utama bagi wisatawan. Untuk dapat menjaga kualitas, pelayanan pemanduan dalam bekerja, pramuwisata dapat berpedoman pada Sapta Pesona Pariwisata yaitu: KEAMANAN, KEBERSIHAN, KETERTIBAN, KENYAMANAN, KEINDAHAN, KERAMAHAN, KENANGAN. Menurut undang – undang kepariwisataan no. 10 tahun 2009 menegaskan bahwa pramuwisata adalah pekerja yang berfungsi sebagai perekat antara pengguna jasa pariwisata (wistawan & agen perjalanna wisata) dengan pemerintah yang berperan aktif dalam pembangunan kepariwisataan.

       Untuk memperjelas undang-undang kepariwisataan tersebut, pemandu wisata (pramuwisata) diwajibkan memiliki kopetensi pariwisata yaitu seperangkat pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata dalam rangka pengembangan kualitas, profesionalitas kerja. Untuk memberikan pengakuan tentang hal tersebut, pemerintah memberikan penghargaan kepada mereka pemandu pariwisata (pramuwisata) dengan sebuah pengakuan berupa sertifikat kopetensi usaha pramuwisata yang diakui secara nasional. Sertifikat tersebut berfungsi untuk mendukung peningkatan mutu produk, pengelolaan dan pelayanan kepariwisataan. Sesuai dengan ketentuan umum undang-undang parwisata BAB I (ketentuan umum) pasal 1 poin : 11 dan 12, yang menerangkan tentang kopetensi dan sertifikasi jasa pramuwisata Indonesia.

       Selanjutnya usaha jasa pariwisata dan prmuwisata telah dijamin pemerintah melalui undang-undang (BAB VI, pasal 14. Di mana salah satu usaha jasa pariwisata di dalamnya meliputi juga jasa pramuwisata). Untuk mempertegas kerja pramuwisata, pemerintah juga telah memberikan acuan kerja pramuwisata melalui perundangannya yang meliputi tugas dan wewenang pemandu wisata (pramuwisata) yaitu:
  • Menjaga dan menghormati norma, adat, budaya dan nilai hidup dalam masyarakat.
  • Member informasi yang akurat dan bertanggungjawab.
  • Member pelayanan yang tidak diskriminatif.
  •  Member kenyamanan, keramahan, perlindungan, dan menjaga keselamatan wisatawan.
  • Menjaga dan memelihara citra NKRI secara bertanggungjawab, dengan jalan selalu menjaga ketertiban lingkungan, kelestarian budaya dan alam Indonesia.

Pramuwisata / Pemanduwisata
Menurut Peraturan Menparpostel. No: KM.82/PW.102/MPPT-88
Pramuwisata adalah seseorang yang bertugas memberikan bimbingan, penjelasan dan petunjuk tentang obyek wisata Indonesia serta membantu segala sesuatu yang diperlukan oleh wisatawan.

Kode Etik Pramuwisata Indonesia 
  1. Menciptakan kesan penilaian yang baik atas daerah Negara, bangsa dan kebudayaan.
  2. Mampu menguasai diri, tenang, segar, rapi, bersih serta berpenampilan simpatik.
  3. Mampu menciptakan suasana gembira dan sopan menurut kepribadian bangsa Indonesia
  4. Mampu memberi pelayanan dan perlakuan yang baik kepada wisatawan dengan tidak meminta tip, menjajakan barang dan meminta komisi.
  5. Mampu memahami latar belakang asal usul wisatawan serta mengupayakan untuk meyakinkan wisatawan agar mematuhi hukum, peraturan, adat kebiasaan yang berlaku dan ikut melestarikan objek (mencegah fandalisme)
  6. Mampu menghindari timbulnya pembicaraan serta pendapat yang mengundang perdebatan mengenai kepercayaan, adat istiadat, agama, ras dan system politik sosial negara asal wisatawan.
  7. Memberikan keterangan yang baik dan benar, apabila ada hal yang belum dapat dijalankan, maka pramuwisata berusaha mencari keterangan tentang hal tersebut dan selanjutnya menyampaikan kepada wisatawan dalam kesempatan berikutnya.
  8. Tidak dibenarkan mencemarkan nama baik perusahaan teman seprofesi dan unsure pariwisata lainnya.
  9. Pramuwisata tidak dibenarkan untuk menceritakan masalah pribadi yang bertujuan untuk  menimbulkan rasa belas kasihan dari wisatawan.
  10. Pramuwisata pada saat perpisahan mmapu memberikan kesan yang baik agar wisatawan ingin berkunjung kembali.

Standard Operating Procedure (SOP) Pramuwisata
       Pramuwisata dengan kemampuannya untuk memberi penjelasan, petunjuk, dan bimbingan yang benar – benar bermakna (informatif), mudah dipahami (komunikatif), dan menarik (atraktif) ia sanggup membuat sesuatu yang sempit dan dangkal menjadi sesuatu yang luas dan mendalam. Pemanduwisata harus secara sungguh – sungguh dapat mendeskripsikan dan mendistribusikan produk wisata dengan baik, benar, tepat, prodesural dan standar.

       Untuk itulah maka, diperlukan Standard Operating Procedure (bidang tour and travel)  bagi pemanduwisata. Standard Operating Procedure (bidang tour and travel) secara umum di bagi dalam tiga (3) bagian yaitu:

1.       Standard operating procedure untuk layanan “reception for transfer in” Pemanduwisata harus mampu melakukan :
  •  Mempersiapkan diri (grooming, tur program, voucher, dll
  • Memastikan keberadaan pengemudi dan kendaraannya
  • Cek kelengkapan kendaraan
  • Mengetahui tempat kedatangan wisatawan, maksimal 30 menit sebelum kedatangan sudah berada di lokasi penjemputan
  • Antisipasi perubahan jadwal kedatangan
  •  Memperkenalkan diri, dan “meeting service”
  • Memastikan : kelengkapan tamu setelah dari bandara, memastikan tidak ada barang tertinggal, informasikan paket wisata yang di sepakati tamu
  • Melakukan tindakan pemanduan awal selama dalam kendaraan, mengenai tujuan wisata dan prosedur cek-in hotel
2.       Standard operating procedure untuk layanan “tour”
  •  Mempersiapkan diri untuk pelaksanaan “guiding”
  •  Mempersiapkan materi pemanduan baik materi obyek maupun lingkungan sekitar
  • Memastikan kenyamanan tamu
  •  Tindakan pemanduan di kendaraan dan di obyek
  •  Menyampaikan kesimpulan kunjungan
  • Kembalike hotel dengan menyampaikan program untuk keesokan harinya
  • Standard operating procedure untuk layanan “reception for transfer out”
  • Persiapan diri untuk melakukan penghantaran pulang wisatawan
  • Mengetahui tempat perhentian terakhir wisatawan
  • Mempersiapkan prosedur cek out baik di hotel maupun di tempat keberangkatan ( cek barang, pembayaran, tiket, dll)
  • Mengantar wisatawan sampai di titik perpisahan dengan tamu, disarankan menunggu sampai keberangkatan
  • Membantu memberi solusi jika terjadi keterlambatan kepulangan


Sumber :
1. Buku panduan Pramuwisata DPD HPI DIY
2. G. DjokoPurwanggono, S.T Par

Kesulitan Menemukan Tour Guide

Oleh Ari D.K. 


Dicari guide berbahasa Prancis
Mampu berkomunikasi dalam bahasa Prancis dan memiliki pengetahuan lapangan dan tentang budaya Jawa. Akan dipekerjakan sebagai guide overland dari Yogyakarta sampai Jawa Timur.
(sebuah ilustrasi iklan lowongan pekerjaan posisi tour guide)

       Seorang tour guide idealnya harus mempunyai beberapa kriteria dasar:
  • menguasai bahasa yang sesuai dengan kliennya.
  •  menguasai medan lapangan dalam mengorganisasi sebuah kunjungan dari satu obyek ke obyek lainnya, dari satu hari ke hari selanjutnya.
  • memiliki pengetahuan umum yang luas.
  • mempunyai attitude kepribadian yang simpatik.
  • mempunyai kemampuan komunikasi, public speaking dan problem solver.
  •  memiliki jiwa “melayani” dan selalu ready on duty.


       Yang disebut di atas merupakan sebagian kecil dari kriteria dasar yang harus dimiliki oleh seorang guide. Apabila dikelompokkan maka akan terdiri dari kepribadian, kompetensi dan intelektualnya. Ini jika kita berbicara tentang kriteria ideal seorang guide. Namun, apakah demikian yang terjadi di lapangan?

Guide Seleksi Travel Agent, Bukan Travel Agent yang Seleksi Guide
       Lain ladang, lain belalang. Lain perusahaan, lain peraturan. Lain travel agent, lain pula kriteria untuk memilih pegawainya, khususnya posisi guide. Yang mana guide adalah ujung tombak perusahaan, meski secara umum guide di Indonesia bukan bagian dari perusahaan itu sendiri. Guide lebih suka bebas, dan travel agent hanya mengikatnya dengan order, yaitu perintah kerja atau saat ada kedatangan tamu dari travel agent tersebut. Seharusnya masing-masing travel agent memang memiliki kriteria-kriteria tertentu untuk memilih guide –sesuai dengan jenis produk pakettour yang dimilikinya. Namun, tidak bisa demikian di Indonesia, jika mengikuti perkembangan situasi saat ini. Travel agent harus beradaptasi dalam menentukan guide-guide yang akan bekerjasama dengannya. Karena, travel agent mengalami kesulitan untuk menemukan tour guide.Terjadi “kelangkaan” stock guide sehingga memicu persaingan antar travel agent. Situasi yang sangat dilematis, terutama untuk travel-travel agent rintisan, yaitu yang baru didirikan. Pertanyaannya adalah dalam cara rekrutmen, bukan lagi dimulai dengan membuat kriteria guide ideal, lalu membuka lowongan, menunggu pelamar, lalu ke tahap pemilihan guide-guide yang melamar. Secara umum, tidak seperti itu untuk profesi guide. Travel agent harus lebih aktif lagi, yakni menjemput “bola”. Sangat unik. Situasi saat ini, malah sebaliknya travel agent malah harus bersaing dengan travel agent lainnya untuk “mengontrak” agar guide mau bekerja di tempatnya. Sebuah kondisi yang diluar dari kewajaran.

       Travel agent harus jeli dalam mengelola, “merawat” dan membuat penawaran terutama untuk guide yang sudah berpengalaman. Status guide yang rata-rata freelance harus “diikat” dengan menjalin hubungan berdasar itikat baik. Bahasa sederhananya nguwongke atau memanusiakan mitra kerja tersebut. Memang tak berlebihan, dengan perhatian tersebut diharapkan guidetersebut bersedia membantu jika dibutuhkan. Ini yang saya sebut mutual ewuh-pakewuh, kurang profesional, namun dibenarkan sebagai solusi menghadapi situasi yang ada. Travel agent yang mapan, mereka akan memperkerjakan guide senior dengan jam terbang tinggi, dan kadang-kadang menerima guide debutan sebagai “bemper”, jika permintaan guide tinggi. Jika seperti itu, apakah dibutuhkan kriteria guide khusus untuk bisa bekerja di suatu travel agent?

Jenis-jenis Travel Agent
        Segmentasi pasar memaksa tiap travel agent harus menentukan differential produk dagangnya –produk yang membedakan antara satu agent dengan agent lainnya. Segmentasi tersebut bertujuan untuk mengerucutkan persaingan, sehingga dapat terlihat berapa kompetitornya, yakni yang menjual produk yang sama. Dalam dunia pariwisata, yang disebut produk adalah program tour. Program paket tour dapat menjadikan ciri khas dari sebuah travel agent. Misalnya, travel agent yang fokus di dayly package tour maka mereka identik sebagai pengecer, untuk walking guest saja. Sehingga mereka hanya membutuhkan guide yang berkemampuan komunikasi secara umum, mampu menghubungkan dari satu obyek ke obyek lainnya dalam satu hari tersebut. Pengetahuan umumnya hanya sekitar tingkat regional wilayah kecil saja. Demikian itu sudah lebih dari cukup.

       Secara umum travel agent dikelompokkan pada: tour klasik, tour petualangan, tour minat khusus. Pembagian ini selain bertujuan untuk segmentasi pasar, sekaligus untuk segmentasi tourguidenya. Tour klasik adalah paket program yang menjual tempat-tempat wisata yang sudah terkenal yang mana ada “kewajiban” jika berwisata di satu destinasi itu “diwajibkan” untuk mengunjungi tempat tersebut. Misalnya, di Yogyakarta terkenal dengan Kraton, Prambanan, Malioboro dan Borobudur, sebagai highlights ciri khas Yogyakarta. Tour petualangan adalah kegiatan luar ruang di alam bebas. Istilahnya adalah jenis tour yang tidak klasik lagi, melainkanvarian tour sudah memiliki pendekatan berbeda. Misalnya, obyek wisatanya sama seperti tourklasik, namun kegiatan hariannya dibuat berbeda misalnya dengan diperbanyak jalan kakinya. Tourpetualangan ini secara umum adalah seperti pendakian gunung, arung jeram sungai, clycling cross country, trekking lintas desa, dll. Sebenarnya, karakter jenis tour mirip dengan tour minat khusus, karena di Indonesia minat khusus –para hobi, identik dengan petualangan. Namun minat khusus dan petualangan hanya dibedakan oleh peminatnya saja. Hal-hal unik dan khusus adalah ciri daritour minat khusus. Misalnya, susur goa Jumbleng, adalah wisata petualangan dan minat khusus. Sedangkan, wisata goa Pindul adalah wisata klasik. Sama-sama obyeknya adalah goa. Sama-sama kegiatan luar ruang, namun berbeda segmen kliennya. Pendeknya, tingkat kesulitan untuk melakukan kegiatan tersebut berbeda.

       Jenis paket tour dari suatu travel agent tentu saja membutuhkan kriteria guide yang berbeda pula. Semakin tinggi tingkat kesulitan satu produk tour maka dibutuhkan guide dengan kemampuan khusus. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guidenya pun harus sesuai, dan menjadi spesialiasinya. Tidak sembarangan orang mampu menjadi guide. Dengan begitu, travel agenttersebut mempunyai pekerjaan lebih berat dalam usaha untuk membentuk guide sesuai dengan kebutuhannya program tournya. Biasanya mereka mengadakan pelatihan secara tersendiri. Mereka membuat open recruitment baik kepada guide senior atau guide muda untuk dilatih, selanjutnya seusai pelatihan travel agent itu menawari kontrak tak tertulis kepada guide untuk mau bekerja bersamanya –tentu saja penawaran satu guide dengan guide lainnya tersebut berbeda.

       Namun, tak semua travel agent mau bersusah payah membuat pelatihan seperti itu, selain harus mengeluarkan uang extra pembiayaan. Mereka juga menghadapi masalah ketidakpastian tentang jumlah besaran guide yang bersedia bekerja dengan mereka. Ini masih terkait dengan status guide yang rata-rata adalah freelance terutama guide yang sudah berpengalaman. hal ini semakin diperparah karena banyak travel agent yang belum mampu direct selling to costumer, kebanyakan dari mereka adalah sub unit dari sebuah travel agent yang lebih besar, entah yang masih sesama di dalam negeri atau menjadi sub unit atau agent local dari travel agent yang berkantor dagang di luar negeri. Travel agent yang demikian pun mempunyai kelemahan dalam memprediksi besaran jumlah kebutuhan guide untuk musim liburan. Berbeda dengan travel agentyang menjual sendiri produknya langsung ke konsumen umum.

Butuh Lembaga Pelatihan Guide
       Permasalahan yang diuraikan di atas, akan sedikit terbantu, jika ada sebuah lembaga pelatihan tour guide di Indonesia. Lembaga tersebutlah yang melakukan sosialiasi profesi guidedan melakukan scouting talent lewat pelatihan yang dibuatnya. Lembaga tersebut lalu bekerja sama dengan beberapa travel agent yang keslitan untuk mendapatkan guide. Mereka melatih dan melakukan quality control terhadap peserta pelatihan sebelum direkomendasikan kepada suatutravel agent. Lembaga ini diharapkan mampu menjadi perantara untuk mengisi kekosongan kebutuhan guide baru yang berkwalitas. Dengan demikian, jika ditanya, apa kriteria untuk menjadiguide? Syarat awalnya adalah pribadi yang menyukai “belajar”, belajar tentang pengetahuan dasar dan umum, juga belajar tentang profesi guide tentang resiko dan peluangnya. Dengan semangat belajar yang tinggi, diharapkan guide-guide muda mampu mengejar ketertinggalan dengan guidesenior. Sehingga gap pengetahuan lapangan dan umum antara kedua guide tersebut tidak terlalu lebar jaraknya. dengan begitu, di lapangan akan tersedia banyak guide yang siap bekerja, dan permasalahan “kelangkaan” untuk mencari guide sedikit demi sedikit mulai terpecahkan. 


Sunday, June 16, 2013

Tentang FFP

FFP
FFP (Forum Français Professionnel) secara rutin sejak tahun 2009, awalnya mengadakan pendampingan kepada mahasiswa-mahasiswa yang ingin menjadi tour guide. Bermula dari forum komunikasi guide muda, sebagai tempat sharing pengalaman dan tempat belajar untuk meningkatkan pengetahuan dalam profesionalisme guiding. Selanjutnya project of FFP berkembang dengan menyelenggarakan pelatihan technique of tour guide dalam lingkup kecil di lingkungan kampus UNY. Semenjak tahun 2009, sudah terselenggara 3 kali pelatihan technique of tour guide dan beberapa kali class guiding, terdaftar sekitar 34 mahasiswa yang mengikuti, dan sekitar 12 mahasiswa diantaranya sudah terjun menjadi tour guide profesional di Yogyakarta. FFP secara sengaja berinisiatif dan aktif untuk mengambil peran dalam pengembangan profesi tour guide, yaitu tugas pendampingan, pengarahan, pelatihan dan pendidikan. FFP dapat pula disebut sebagai organisasi sosial semi-profesional nirlaba, yang bergerak dalam bidang pariwisata dan pendidikan, dimana dana kegiatan berasal dari dana swadaya peserta kegiatan.